Tragedi seperti gempa di Haiti sering mengakibatkan suatu kebangunan rohani. Hal ini pernah terjadi ketika bencana alam melanda negara Burma pada tahun 2008. Saat itu topan Nargis menerpa dan meninggalkan puluhan ribu orang tewas. Sejak itu banyak etnis di Burma yang datang pada Yesus, dan hal ini di mulai dari pertobatan anak-anak mereka.
Diantara para percaya di Burma yang dilayani oleh organisasi Vision Beyond Borders yang dipimpin oleh Patrick Klein adalah anak-anak, mereka adalah yatim piatu akibat badai Nargis saat itu. Kini orang-orang Kristen itu banyak yang mengungsi ke hutan dan menuju perbatasan Thailan karena di kejar-kejar oleh tentara Burma.
"Anak-anak ini hanya mengasihi Tuhan," kata Klein. "Bahkan di tengah-tengah semua kematian dan kehancuran, Yesus begitu nyata bagi anak-anak ini dan kepada semua para pengungsi yang membanjiri Thailand."
Klein telah bekerja di Burma selama 17 tahun. Selama Natal 2009, ia dan timnya memberanikan diri masuk jauh ke dalam hutan di sepanjang perbatasan Thailand dan Burma untuk memberikan Alkitab, obat-obatan, dan barang bantuan kepada anak yatim dan pengungsi.
Wes Flint, anggota Vision Beyond Borders, tersentuh oleh kemauan anak-anak untuk mengampuni para penganiaya mereka.
"Aku menemukan bahkan pada anak-anak, mereka menyerang dengan sangat brutal dan kejam, kesetiaan mereka dan komitmen mereka kepada Yesus Kristus mengajarkan saya, ini adalah mengajar saya," Flint menjelaskan. "Ini mengajar saya dalam perjalanan sebagai orang Kristen untuk menahan amarah atau kebencian terhadap mereka yang telah menganiaya saya."
"Hanya dengan mendengar kisah-kisah mereka membuat saya sedih," tambah Klein. "Satu anak laki-laki, ibunya sedang sakit. Ibunya itu diperkosa tepat di depannya dan kemudian dibunuh oleh tentara Burma dan kemudian mereka membunuh ayahnya. Mereka menembak ayahnya dan ketika ia masih hidup, mereka membakarnya."
Menurut Human Rights Watch, Burma "memperburuk catatan hak asasi manusia setelah kehancuran yang diakibatkan badai Nargis pada Mei 2008."
Laporan itu mencakup penggandaan tahanan politik untuk lebih dari 2.100 pada tahun 2008. Masyarakat sipil menjadi korban, terutama mereka yang termasuk etnis minoritas, seperti suku Karen.
bagian timur wilayah Suku Karen, banyak terjadi penyiksaan termasuk kerja paksa, kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan, pembunuhan, penyiksaan, dan penyitaan tanah.
Sekitar 40 persen dari Suku Karen adalah orang Kristen.
Seorang penginjil Burma, yang tidak disebutkan namanya untuk melindungi identitasnya, telah menanam banyak gereja di seluruh Burma dan beberapa sejak topan. Dia bilang dia tidak akan mundur sekalipun menghadapi aniaya pemerintah.
"Mereka mencoba untuk membuat negara ini menjadi negara Buddha," kata penginjil tersebut. "Ketika mereka menekan kami, Allah lebih banyak bekerja, kami memenangkan lebih banyak orang bagi Kristus. Ketika kami berbicara tentang Yesus, banyak, banyak orang datang."
Mereka yang percaya pada Yesus dan ingin lebih lagi mempelajari firman Tuhan tidak bisa bebas beribadah. Gereja-gereja di Burma banyak yang ditutup, bahkan mereka yang memiliki ijin resmi. Namun iman umat percaya disana tidak surut, sekalipun harus melarikan diri ke hutan-hutan, iman mereka terus bertumbuh dan semakin bersemangat memberitakan Injil.
Kebebasan beribadah yang kita nikmati di Indonesia ini harus kita syukuri dan pergunakan sebaik mungkin. Dengan kebebasan beribadah tersebut, mari kita dukung saudara-saudara kita di Burma, agar mereka diberi kekuatan dalam menghadapi aniaya dan semakin banyak orang dimenangkan bagi Kristus.
Sumber : CBN.com